Archive for the ‘fantasy’ Category

Cerpen : Aku Ingin Menjadi Istrimu

  “Aku ingin menjadi istrimu”, pintaku pelan. Tapi lelaki, tempat cintaku berlabuh setahun ini bagai tak mendengar. Ia terjerat hari-hari yang sibuk. Pergi pagi, dan pulang ketika senja usai. Tak jarang dini hari baru pintu rumahnya terdengar berderit.
  
  Aku tahu, karena hampir tiap malam aku menunggunya. Kesetiaan, yang membuahkan kantung yang menggelap di bawah mataku.
  
  “Kenapa matamu, Nia? Makin hari makin tak bersinar saja. Jangan terlampau sering begadang”. Mama seperti juga yang lain, tak pernah mengerti alasanku berjaga tiap malam. Tak ada yang memahami apa yang kutunggu. Kecuali Bandi, tempat cintaku bersandar. Ia tak pernah sekalipun menyinggung soal mataku yang kian cekung. Mungkin karena lelaki seperti dia mengerti jerih payah orang mencintai. Kesetiaan yang mengalahkan penglihatan fisik. Tidak seperti pasangan-pasangan lain, dalam angan kebanyakan orang, kami memang berbeda. Kesibukan Bandi menafkahi keluarganya, membuat lelaki itu harus bekerja ekstra keras. Meskipun begitu, pertemuan kami rutin. Walaupun hanya sebentar sekali.
  
  Di luar waktu kerjanya sebagai wartawan, lelaki itu menyempatkan diri menulis cerpen, puisi, resensi, opini, apa saja, untuk banyak media. Komputer, ia belum punya. Itulah mengapa Bandi rajin berlama-lama di kantor. Dan sebagai pasangan yang setia, aku harus mengerti. Sosoknya yang pekerja keras, itu yang membuatku makin terpikat. Jatuh hati kian dalam. Lainnya?
  
  “Abang bisa mengetik di rumah. Kapan saja abang mau. Tak usah sungkan”. Minggu sore itu, dengan baju kurung yang baru selesai dijahitkan mama semalam, kami berbincang sebentar di teras rumah. Tapi tawaranku yang tak sepenuhnya tulus, hanya karena ingin bersamanya lebih sering, ditolaknya halus. “Jangan, Nia. Abang pulang dari kantor sudah malam. Tak enak sama orang tuamu”. Kalimat tegasnya menunjukkan kemandirian, dan mental yang bukan aji mumpung. Bukan tanpa alasan aku menawarinya mengetik, mengingat kami punya lebih dari enam komputer di rumah. Paviliun rumah memang sejak lama aku jadikan rental komputer dan warnet. Meski awalnya tak setuju karena orang tua ku berpikir kami tak kekurangan uang, toh rental yang ku kelola kemudian berjalan semakin baik. Uang mengalir, pelanggan puas. Di sisi lain, aku tak penah lelah menanti Bandi pulang. Tidak masalah apakah ia pulang lebih awal, seperti yang sesekali terjadi, atau bahkan menjelang pagi. Sosoknya yang kukuh
dengan ransel hitam di punggungnya, tak pernah terlewat dari mataku.           
  
  “Aku ingin menjadi istrimu, Bang”. Bisikku lagi.
  
  Tahun kedua berlalu, dan waktu makin meluruhkan hatiku atas sosok keras bernama Bandi. Lelaki tegap, dengan kulit kecoklatan yang baik hati dan perhatian. “Pagi-pagi begini sudah buka?”, aku mengangguk. Menyembunyikan debaran jantung yang gemuruh, dan napas tersengal karena berlari dari kamar, hanya untuk mengejar bayangnya. “Bang Bandi pun sepagi ini sudah jalan? Biasanya jam tujuh seperempat, kan?”. Lelaki itu tertawa. Giginya yang kecil-kecil berbaris rapi. Memberikan pemandangan yang membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi. Perasaan yang membuatku seperti tak pernah merasa cukup mengambil kursus. Kemarin belajar masak, lalu bikin kue, kemudian menjahit, ahh apa lagi?. Biarlah yang penting aku bisa membanggakan Bandi. Di depanku lelaki pujaan itu masih tersenyum. Baru kemudian kusadari sesuatu yang membuatku tersipu. Apa kataku barusan? Tujuh seperempat? Ah pengamatan yang sedetail itu, sungguh memalukan! Pikirku terlambat. Tapi Bandi menutup perasaanku yang tak
karuan dengan senyum lebar, dan sebuah buku di tangannya. “Untukmu, Nia. Belum terlalu lama terbit. Bagus sekali isinya tentang–” Dan lelaki yang tadi berjalan tergesa-gesa, untuk sesaat seperti lupa bahwa ia sedang memburu waktu. Dengan antusias, kedua tangannya bergerak-gerak, memberiku gambaran sepintas isi buku yang disodorkannya.
  
  Wajahnya yang semangat. Aku menatapnya, dengan perasaan terjerembab. Kagum dengan sosoknya yang cerdas, sekaligus merasa beruntung karena aku diberi kesempatan mencintainya. Hari-hari kami sederhana namun indah. Ia membawakanku banyak buku, yang kubalas dengan setoples kue-kue buatanku sendiri. Begitu indahnya hingga tahun ketiga berlalu. Kemudian terlewat tahun keempat. Selama itu, aku tak pernah lelah mengungkapkan dan menyatakan betapa ingin aku menjadi istrinya. Bandi tak menjawab keinginanku. Aku menenangkan diri dengan berbagai pikiran positif. Barangkali kesibukan, mungkin ia belum merasa siap, ucapku menghibur hati, setiap kali perasaan ragu timbul. Tapi kesabaran akan penantian, boleh jadi hanya milikku. Sebab Mama kemudian seperti tak punya kerjaan lain, kecuali memburuku dengan kalimat itu. “Menikahlah, Nia. Apalagi yang kau tunggu?” Bandi! Tak ada yang lain. Dan tak bisa yang lain!
  
  Tahun berikutnya, Papa ikut mendesakku. “Anak Om Hasnan baik, Nia. Kehidupannya pun mapan. Dia direktur termuda, di perusahaan Om Hasnan”. Aku tidak sedikitpun tertarik. Lelaki yang kaya karena cucuran harta orang tua, mana bisa memenangkan hatiku? Pikiranku terbawa pada Bandi. Sosoknya, kerja kerasnya, peluh keringat yang tampak jelas masih menempel di dahinya, setiap melintasi jendela kamarku. Anak Om Hasnan mungkin baik, tapi dia tidak seperti Bandi. Lalu calon-calon lain disodorkan. Tetapi setiap kali, kepalaku makin terlatih menggeleng dan melahirkan helaan napas putus asa dari papa. Mama mendekatiku dengan cara serupa. Menawarkan calon demi calon yang dirasanya pantas, dan mengangkat martabat orang tua. Tapi selali saja kutemukan nilai minus pada mereka. Gilang, tak pernah serius. Herry terlalu adventurir buat seorang Nia yang pecinta rumah. Sementara Agus terlalu matematis. Cuma Bandi, yang cerdas dan memiliki sikap merakyat, yang merebut semua nilai plus,
bahkan dalam kesederhanaannya. Cuma Bandi, yang membuatku tak sungkan merendahkan harga diri dengan berkali-kali mengungkapkan harapanku. Tak pernah bosan membisikkan kalimat itu. “Aku ingin menjadi istrimu”. Namun seperti yang sudah-sudah, kalimatku hanya terbawa angin, dan menguap tanpa bekas. Bandi, seperti tak menyediakan tempat, untuk sebuah pernikahan.
  
  “Cinta”,
Suatu hari kudengar kalimat itu dari bibirnya. Jelas, tanpa keraguan. “Cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan menatap. Bukan begitu Nia? Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih harus saling mengemis. Cinta–
  
  Ia mendesah. Pandangan nya nanar. Aku bisa merasakan kesedihan hatinya hari itu. Tapi cintaku tak berkata apa-apa lagi. Ia pergi setelah lebih dulu menyodorkan sebuah buku yang membuatku menangis berhari-hari. Sungguh, belum pernah ada kisah asmara yang kubaca dan menorehkan begitu banyak kesedihan, setelah Romeo dan Juliet. “Bagus sekali, Bang. Nia sampai menangis dibuatnya”. Bandi hanya tersenyum tipis. Tangannya yang kokoh menerima buku yang kukembalikan. Tuhan, begitu ingin aku bersandar dalam rengkuhannya. Tapi tangan itu terlalu sopan, tak pernah menjamahku.
  
  “Cinta itu menghormati, Nia. Cinta tak saling memanfaatkan”.
  
  Aku mengangguk. Seperti biasa terbius oleh kata-kata Bandi. Terpesona oleh akuratnya kata dan laku lelaki itu. Bandi tak menyentuhku, bukan tak cinta. Justru karena ia cinta. Bukankah seperti katanya, cinta itu tak kurang ajar? Cinta itu menghormati? “Bang, aku ingin menjadi istrimu”, bisikanku mulai bercampur isak. Ah, betapa inginnya. Kenapa Bandi tak bisa mengerti? Bukankah dua orang yang saling mencintai harusnya saling memahami, hanya dengan memandang? Lalu bertubi-tubi, kegembiraan yang menyedihkan itu datang. “Kak Nia, maafkan Ita”. Aku mengangguk. Meski sesudahnya aku perlu berhari-hari menumpahkan tangis dalam diam di bantalku. Lalu Riza, Nina dan terakhir– “Kak, Linda minta maaf”. Giliran adik bungsuku meminta. Aku mengangguk. Menahan air mata yang menggayut memberati mataku. Seharusnya aku bahagia, adik-adikku menamatkan kisah cinta mereka lebih dini. Pernikahan adik bungsuku dirayakan besar-besaran oleh kedua orang tua kami. Seolah mama dan
papa letih, dan memutuskan tak perlu menyimpan sedikit pun tabungan untuk anak mereka yang sulung. Tapi tahun memang berlalu secepat malam tiba. Aku tak menyadari kapan mama dan papa mulai berhenti memintaku menikah. Yang kutahu tak ada lagi nama-nama yang mereka sodorkan padaku. Awalnya hal itu membuatku merasa bebas, ya– bebas menunggu Bandi. Baru kemudian kusadari hatiku yang hempas, anehnya oleh sesuatu yang tak pernah berubah.
  
  Bandi tak berubah sedikitpun. Masih seperti dulu. Pergi jam tujuh seperempat, dan pulang ketika malam tenggelam. Sosoknya pun masih sama, sabar, kuat dan perhatian. Aku pun tak pernah berubah. Masih menemaninya dengan setia. Berdandan rapi di pagi hari untuk melepasnya pergi ke kantor. Malamnya, menanti kepulangan lelaki itu meski hanya lewat gorden jendela kamarku. Tidak tahukah Bandi bahwa kedua mataku ini hanya bisa terlelap setelah memastikan sosoknya yang gagah memasuki rumah? Tapi ketiadaan kemajuan dalam hubungan kami tidak membuatku berhenti meminta. Seperti juga malam itu. “Bang, aku ingin menjadi istrimu”, kataku pelan dengan air mata meleleh. Tapi Bandi meski tetap ramah dan baik hati, seperti yang sudah-sudah tak juga menanggapi. Padahal kesabaranku, bakti dan kesetiaanku– lalu kue-kue yang selalu berganti resep setiap minggu?
  
  “Bikin kue apa lagi sepagi ini, Nia?”. Aku tak menjawab pertanyaan mama. Sudah pukul tujuh lewat sepuluh. Lima menit lagi Bandi akan lewat, dan aku tak boleh terlambat. Kakiku bergegas ke pintu depan. Ditanganku, setoples kue coklat bertabur kismis, tampak manis dan menggoda. Bersyukurlah dalam kesederhanaan. Dalam ketiadaan. Bersyukur dengan apa yang kita miliki. Bandi sering mengulang-ulang kalimat itu. Mungkin maksudnya supaya aku tak lagi berulang-ulang mengucapkan kalimat itu, keinginanku untuk menjadi istrinya. Aku mengangguk. Melambaikan tangan pada Bandi yang pagi itu melintas dengan banyak tas di tangan. Berikutnya adalah hari-hari yang tak kumengerti. Sebab Bandi tak pernah kelihatan lagi. Ia lenyap dan dengan cepat kusadari ketika malam itu hingga azan subuh menggema, aku tak pernah melihat lelaki tercinta itu memasuki rumahnya. Perasaan panik serta merta melanda diriku. Ya Allah, sesuatu mestilah menimpa lelaki terkasih itu. Tapi, kecuali aku, sepertinya
tak ada orang lain yang merasa kehilangan. Bahkan tidak ayah dan ibu, serta adik-adiknya yang enam orang itu.
  
  Aku mulai menangis. Selama beberapa hari bahkan tak ada sesuap nasipun yang bisa ku telan. Ketika sepekan lewat dan Bandi tak juga kembali, aku menenggelamkan diri dalam kamar. Menguncinya dan tak membiarkan siapapun mengusik kesedihanku. Bandi, sesuatu pasti terjadi pada dia! Batinku tak mungkin dibohongi. Keluarga Bandi pastilah hanya menghibur ketika mengatakan lelaki itu mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar di luar negeri. Tidak mungkin Bandi tak mengabarkan padaku infomasi sepenting itu. Bukankah aku cintanya, seperti dia cintaku? Setiap hari, kuhabiskan waktu dengan meringkuk di kamar, sementara mataku terus terpaku, mengintip dari balik gorden, mencari-cari bayangan Bandi yang kapan saja datang, mungkin dalam keadaan terluka. Oh Tuhan! Kedua mataku terasa penat karena terlalu banyak menangis dan berjaga. Aku tak lagi ingat makan, mandi, bahkan tak peduli sama sekali dengan kelangsungan rental yang kurintis. Bandi lebih penting dari itu semua! Mama dan Papa serta
adik-adik kutentu saja terlihat sedih. Tapi mereka sama sekali tak paham apa yang kurasa. Gelombang kepedihan, perasaan hampa, seolah hampir seluruh nyawaku tercerabut, membuatku tak memiliki keinginan untuk melakukan apapun.
  
  Syukurnya, melewati tiga bulan dalam masa-masa berduka, setitik harapan muncul. Bandi tak apa-apa. Perasaanku mengatakan ia masih hidup, dan bisa pulang kapan saja. Mungkin sebentar lagi. Lalu tubuhku dirasuki tenaga baru. Hari itu kuputuskan keluar kamar. Sinar matahari yang selama ini kumusuhi, segera saja menyipitkan mataku. Tapi kegembiraan meledak-ledak, mengalahkan semua keengganan. Cepat, seperti tak ingin kehilangan waktu, aku mengambil baju yang paling baik yang ku punya, lalu berlari ke kamar mandi. Menyeka tubuhku keras-keras dengan spon sabun, hingga bersih dan dipenuhi aroma harum sabun. Selepas mengenakan baju, kusemprotkan minyak wangi, lalu berhias secantik mungkin. Orang-orang yang tak mengerti mengatakan bedakku terlalu tebal. Aku hanya mencibir. Mereka tak mengerti sosok istimewa yang ku nanti. Tapi hari itu Bandi belum pulang. Tak apa. Yang adalah aku selalu siap, jika ia sewaktu-waktu datang. Bajuku harus rapi, tubuhku harus wangi, rambutku harus
selalu dikeramas tiap hari. Bedak, sedikit lipstick kucoretkan dibibirku yang akhir-akhir ini sering pecah-pecah. Aku tak ingin ada yang terlewat. Semua harus sempurna, ketika Bandi pulang nanti.
  
  Lelaki itu sudah pergi lama, ia pasti kangen padaku. Pada canda tawa kami, pada hubungan sederhana namun indah yang selama ini terjalin. Ia juga pasti rindu dengan kue-kue ku. Ya Tuhan, sudah berapa lama aku tak lagi membuat kue-kue dan menaruhnya di toples, untuk Bandi? Maka sejak hari itu, telah kutekadkan, supaya tak ada hari berlalu tanpa kue-kue baru yang kubikin. Bukankah sebentar lagi tahun baru tiba, dan Bandi mungkin akan pulang? Ketika tahun baru lewat, dan aku menunggui Bandi di depan pagar rumah kami hingga kedinginan, Mama menyelimuti tubuhku yang menggigil dengan selimut. Tapi aku tetap menunggu. Mungkin Bandi akan pulang ketika musim liburan. Mungkin bulan puasa tahun depan. Hmmm–, tidak! Aku tersenyum. Bandi akan pulang lebaran tahun depan, pasti! Pikiran itu membawa langkahku ke ruang dalam. Bukan ke kamar seperti harapan kedua orang tua ku. Pikiranku padat oleh banyaknya pekerjaan yang akan menungguku sampai Bandi pulang nanti. Membuat kue-kue
kesukaan lelaki tercinta itu. Juga baju baru. Sambil tanganku sibuk mengaduk adonan tepung terigu bercampur gula, keju dan entah apa lagi, pikiranku mengembara. Mengenang Bandi. Betapa rindunya. Besok dan besoknya lagi, kesibukan yang sama menungguku. Kue-kue dan jahitan baju baru. Setiap hari. Aku ingin siap ketika Bandi pulang. Aku ingin rapi, ingin cantik.
  
  Sedikitpun tak ada kesangsian akan kesetiaan Bandi padaku. Meski terdengar kabar Bandi telah menikah, atau Bandi sudah betah di luar negeri dan tak akan kembali, aku tak pernah percaya. Suatu hari Bandi akan pulang dan memenuhi permintaanku untk menjadi istrinya. Seperti yang selama ini selalu ku bisikkan dalam hatiku menjelang tidur. “Bang, aku ingin menjadi istrimu”. Dan aku tahu, Bandi mengerti perasaanku sepenuhnya. Permintaanku. Sebab cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan memandang. (Bukan begitu Nia?) Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih saling mengemis cinta.
  
   *Karya Asma Nadia*

Bunga Azalea dari Sabun

Tanggal 1 April kemarin adalah tanggal bagi diriku membuat bunga. Namun kali ini diriku membuat bunga dari sabun mandi batangan, heheheee… proses membuatnya gampang, cuma butuh bahan2 dibawah ini.. :

  • 1 buah sabun batangan (bukan sabun balok buat nyuci baju lho ya.. ^o^ )
  • 8 sdm tepung maizena
  • 8 sdm air panas
  • 1 alat parutan keju
  • 1 gunting
  • 1 mangkok untuk menguleni
  • 5 batang lidi (ambil aja lidi dari sapu halaman yg udah gak dipake. hehehe)
  • 1 pot bunga
  • 1 buah lem kertas (gulungan seperti selotip)
  • 8 lembar daun buatan

caranya:

  1. sabun batangan tadi di parut menggunakan parutan kelapa atau keju, sampai sabun habis
  2. masukkan ke dlm mangkok : sabun yg sudah diparut tadi, lalu ditaburi tepung maizena, aduk sampai rata
  3. tambahkan air panas, campur semuanya jadi satu, uleni sampai kalis
  4. biarkan adonan sabun menyatu, tunggu 5 menit
  5. setelah menyatu, ambil adonan sedikit saja
  6. bulatkan adonan tersebut, lalu pipihkan
  7. siapkan lidi sebagai tangkainya
  8. lekatkan adonan yg sudah dipipihkan tadi ke lidi, buat formasi melingkari lidi
  9. buat adonan lagi seperti tadi, dan lingkarkan ke adonan yg sudah menempel tadi
  10. lakukan cara seperti tadi berulang2 hingga adonan ke 6
  11. setelah menjadi sebuah bunga, taruh di tempat lain agar cepat mengering
  12. ambil tangkai lidi lagi dan buat bunga seperti tadi
  13. begitu seterusnya hingga adonan sabun habis 🙂

setelah semua bunga mengering, saatnya menghias bunga. caranya :

  1. siapkan lem kertas, lalu ambil setangkai bunga
  2. lekatkan lem tepat di tangkai bunga paling atas
  3. buat formasi lem melingkari tangkai
  4. ditengah tangkai, sisipkan sehelai daun buatan
  5. lanjutkan melingkari tangkai dengan lem kertas, lalu sisipkan lagi daun kertas yg kedua
  6. lanjutkan melekatkan lem kertas sampai diujung tangkai bunga
  7. lakukan cara spt diatas ke bunga yg lainnya
  8. setelah selesai, masukkan ke dalam pot bunga 🙂

caranya gampang bukan? ayo kamu cobain membuat bunga seperti ini dirumah, selain memperindah pandangan mata, juga mengharumkan ruangan lhoo.. sekian tutorial membuat bunga sabun dari diriku. moga bermanfaat…  v(^__^)v

bunga dari sabun

bunga dari sabun

Berani Jomblo kah dirimu…? ^_^

beranijomblo

STOP

someday

Selamat Malam Cinta

selamat malam cinta

Tuhan malam ini ku kembali
sujud padaMu lepaskan resah jiwaku
yang kini rindu padaMu
teguhkan asaku
angin malam pun berbisik syahdu
zikir padaMu senandungkan asma indahMu
sejuk dibasahi embun
air mataku
ku memujiMu di tengah heningnya malam
nyanyikan salamku selamat malam cinta
sujud ku serah jalan takdirku padaMu
yakin Kau tunjukkan terbaik bagiku
jalan yang berliku terbentang di hadapanku
bagaikan bidukku berlayar di pantaiMu
terang cintaMu tuntun jalanku
Tuhan kekalkanlah cintaku ini
Beri aku kekuatanMu
hadapi seribu rintangan di hadapanku
tegarkan selalu langkahku
teguh di jalanMu

Kupu-kupu Cinta

kupu-kupu cinta

Pertemuan ini menjadi suatu berarti
Dikala diri menepi untuk warna-warna hati
Ruang-ruang jiwa hanya untuk maha kuasa
syair-syair cinta tercipta karna Dia

Kupu-kupu cinta
Terbanglah tinggi menuju jalan-Nya
Hinggaplah engkau dibunga yang indah
Terbang bersama hembus angin cinta

Ya illahi Robbi
Tiada lain hanyalah namamu
Satukan Cinta ini dalam bingkai
Untaian ridho-Mu…

MAKE A CROQUETTE POTATO

Minggu yang indah.. adalah waktu yang keren untuk mengacak-acak perabotan dapur.

karna kangen maem perkedel kentang ( ooopppss… ketahuan deh nama aslinya.. ) maka aku bikin deh.. croquette potato.. aku minta resepnya sama uni ku yang pinter masak, berharap  jadi ketularan jago masak.. aamiin.. hehhe

setelah jajan ke pasar dan hunting bahan, maka inilah bahan intinya:

  1. Kentang ( 1 kg )
  2. Telur ayam ( 1 butir )
  3. Bawang goreng ( 2 sdm )
  4. Seledri ( 3 batang )
  5. Royco ( secukupnya )
  6. Lada putih / merica ( secukupnya )
  7. Garam ( secukupnya )

bahan membuat perkedel kentang

Kumpulkan bahan di baki, apabila sudah komplit, lanjutkan perjuangan!!!

Potong – potong kentang yang sudah dikupas kulitnya jadi 4 potong atau sesuka hati aja

2 cara membuat perkedel kentang

Goreng dengan api sedang, jangan sampai gosong. Angkat kalo warna udah kuning keemasan

3 cara membuat perkedel kentangHancurkan kentang yg sudah digoreng pakai gelas atau sendok atau cobekan. aku sih pake batu cobekan aja. xixixixi…

12 cara membuat perkedel kentang

Tambahkan bumbu2: kuning telur + bawang goreng + lada putih + royco + garam + seledri

Aduk semua bahan jadi satu

Buat bentuknya seperti bulat pipih9 cara membuat perkedel kentangcelupkan ke putih telur ( sisa telur tadi aja.. hehehhe )

goreng hingga warnanya kuning keemasan. Angkat4 cara membuat perkedel kentang

hiasi dipiring seperti diatas ( agak lebay dikit. hahahhaha )

itadakimasu CROQUETTE POTATO 😀